KPK Tak Bertaji karena Belum Bisa Ungkap Kasus Besar, Kalah Mentereng dengan Kejagung

- 27 Maret 2023, 02:00 WIB
KPK Belum Bisa Ungkap Kasus Besar, Kalah Mentereng dengan Kejagung
KPK Belum Bisa Ungkap Kasus Besar, Kalah Mentereng dengan Kejagung /


KabarDKI.com - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dinilai tak 'bertaji' karena belum bisa mengungkap kasus besar. Firli Bahuri Cs, dianggap kalah mentereng dengan Kejaksaan Agung.

Hal ini dikemukakan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dimana merasa prihatin dengan kinerja KPK yang tak bertaji.

"Ini memang suatu keprihatinan kita, saya berharap perlu didorong, KPK perlu di depanlah," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, seperti dinukil dari Antara di Jakarta Senin 27 Maret 2023.

Baca Juga: Jokowi Larang Ada Buka Puasa Bersama, Daerah Ini Sudah Anggarkan Rp1,2 M

Menurut Boyamin, pihaknya telah meramal sejak 10 tahun yang lalu bahwa kinerja KPK akan kalah dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkap kasus-kasus besar tindak pidana korupsi.
 
"Itu (ramalan) sudah saya sampaikan kepada kedua belah pihak," papar Boyamin Saiman.
 
Boyamin berpandangan ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar seperti yang dilakukan Kejagung karena pola kerja yang dijalankan selama ini.
 
Ia menjelaskan KPK hanya fokus pada operasi tangkap tangan (OTT) yang menerapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 tentang Gratifikasi serta Pasal 12 tentang Penerimaan Hadiah dan Pemerasan.
 
Dari OTT itu, katanya, KPK melakukan pengembangan kasus jika pengembangan kasus yang dilakukan KPK selalu berasal dari OTT maka akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum.
 
"Yaitu apa? Dia (KPK) membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau 'ngincer' orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang gitu," tambah Boyamin Saiman.
 
Dalam praktiknya, berbeda dengan Kejagung, lembaga Adhyaksa itu selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya.
 
Di mana pada Pasal 2 menyebutkan tentang perbuatan melawan hukum Pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.

"Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti," katanya.
 
Dengan pencarian alat bukti ini, kata Boyamin, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, maka lama-lama akan menemukan "ikan besar" (kasus besar), dan itu terbukti dimulai dari tahun 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI.
 
Dari kasus tersebut, dirumuskan sampai 2019-2020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI. Tidak hanya itu, MAKI merupakan salah satu yang melaporkan ke Kejagung kasus langka dan mahalnya minyak goreng waktu itu akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan.
 
"Kemudian beberapa kasus lain besar-besar yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun," kata Boyamin.
 
Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti.
 
Dengan perbedaan pola kerja antara KPK dengan Kejagung ini, kata Boyamin, akan menjadi perbedaan sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing. Sementara lembaga anti rasuah itu hanya fokus pada OTT dan hanya berkutat di Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12.
 
"Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya 'case building'," paparnya.
 
Namun KPK bukan berarti tidak berupaya membangun kasus. Boyamin melihat beberapa upaya dilakukan KPK, misalnya kasus terakhir adalah bansos terkait dengan PT BGR Logistik Indonesia yang salah satunya bekas Direktur Utama Transjakarta diproses dan dicekal karena hasil pengembangan dari OTT kasusnya Juliari Batubara (mantan Mensos).
 
"Jadi kalau toh KPK itu menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 itu adalah pengembangan dari OTT," paparnya.
 
Boyamin mencatat KPK pernah mengembangkan kasus KTP-el pada tahun 2012 dan diproses tahun 2014-2015 yang dianggap sebagai prestasi mengungkap kasus besar.

Dari pola kerja saat ini, menurut Boyamin, KPK tampak seperti tidak berusaha menyentuh Pasal 2 dan Pasal 3 sehingga yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT. Oleh karena itu tidak akan pernah menemukan kasus besar.

"Karena OTT tidak, kalau bisa yang dikembangkan ya dikembangkan (kasus) kecil-kecil lagi aja dan itu yang susah memang," kata Boyamin.

Baca Juga: Mobil Bea Cukai Kawal Mobil Alphard, Peter Gontha: Hai Pemerintah! Periksa Dong Siapa Sih Mereka
 
Sementara itu, kenapa Kejagung bisa mengungkap kasus-kasus besar karena berkonsentrasi di Pasal 2 dan Pasal 3 yang otomatis banyak kasus-kasus besar mengantre untuk diungkap, paparnya.
 
Menurut Boyamin, keberhasilan Kejagung tidak hanya mengungkap kasus-kasus besar, tapi mampu merumuskan kasus terkait tentang kerugian perekonomian negara.
 
Hal itu, paparnya, dimulai dari kasus impor tekstil di Batam yang terungkap terjadi kerugian perekonomian negara, termasuk kasus Surya Darmadi, impor minyak goreng.
 
"Jadi Kejagung itu bukan hanya kasus besar tapi sudah melompat lagi tentang merumuskan kerugian perekonomian negara, sementara KPK masih berkutat kerugian keuangan negara dan itu kemudian hanya berdasarkan OTT dan temuan BPK misalnya," pungkas Boyamin.***

Editor: Oktafian Wahyu Nugroho

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x