Greenpeace Indonesia: Debat Cawapres Luput dari Akar Masalah Lingkungan

- 23 Januari 2024, 09:04 WIB
Greenpeace Indonesia: Debat Cawapres Luput dari Akar Masalah Lingkungan
Greenpeace Indonesia: Debat Cawapres Luput dari Akar Masalah Lingkungan /Dok. Greenpeace Indonesia

KabarDKI.com - Greenpeace Indonesia menilai debat Cawapres luput dari akar masalah lingkungan. Baik dari pasangan calon nomor urut 01 Muhaimin Iskandar, 02 Gibran Rakabuming Raka dan 03 Mahfud MD tak memberikan komitmen yang jelas dan terukur dalam acara yang digelar KPU, Minggu (21/1).

Melihat debat Cawapres, Greenpeace Indonesia menyesalkan tidak adanya komitmen yang komprehensif, jelas, dan terukur untuk mengatasi masalah lingkungan. Para paslon gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim, yaitu alih fungsi lahan dan sektor energi dengan masifnya penggunaan nikel.

“Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud Md. juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama,” ucap Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, dalam rilisnya dikutip KabarDKI, Selasa (23/1).

Baca Juga: INDEF Nilai Debat Cawapres Kurang Dielaborasi Secara Sederhana ke Masyarakat

Dalam isu reforma agraria, para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN). Contohnya Cawapres 02 dan 03, hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.

Selain itu, ketiga Cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika.

Reforestasi Bukan Jawaban

Greenpeace Indonesia melihat pernyataan Cawapres 02, Gibran tentang reforestasi untuk mengatasi deforestasi jelas tak menjawab persoalan. Kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali.

Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi.

Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2015-2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022).

Baca Juga: Debat Cawapres Cak Imin Kritik Program Food Estate yang Abaikan Petani hingga Rusak Lingkungan

Sepanjang 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua yang dibuat Menteri Kehutanan. Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut.

Selain itu, menurut Greenpeace Indonesia, kebakaran hutan dan lahan gambut juga masih terjadi tiap tahun. Tercatat pada 2023, angka kebakaran lahan dan hutan mencapai 1,16 juta hektare, sayangnya hal ini luput dari pembahasan debat cawapres.

Debat Cawapres Tak Singgung Masyarakat Pesisir

Greenpeace Indonesia juga menilai debat Cawapres juga tidak menyinggung persoalan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Dimana tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut.

“Perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat. Memang ada yang menyinggung tentang masyarakat pesisir dan nelayan, tapi mereka tidak menjabarkan bagaimana agenda mitigasi dan adaptasi iklim bersama warga yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil–yang makin terjepit dampak krisis iklim. Fakta lainnya, keanekaragaman hayati laut Indonesia juga terancam dengan praktik ekonomi ekstraktif dan tekanan pembangunan berbasis darat. Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi 30 persen kawasan dan keanekaragaman hayati laut kita pada 2030,” kata Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia.***

Editor: Endah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah