Fakta-fakta Kasus Bunuh Diri di Jakarta Utara, Pakar: Seharusnya Dicatat sebagai Kasus Pidana

13 Maret 2024, 13:05 WIB
Fakta-fakta Kasus Bunuh Diri di Jakarta Utara, Pakar: Seharusnya Dicatat sebagai Kasus Pidana /Sumber foto Instagram@warfare.apparel/

KabarDKI.com - Fakta-fakta kasus bunuh diri di Jakarta Utara sebuah keluarga melompat dari sebuah apartemen lantai 21. Empat anggota keluarga terdiri atas ayah, ibu dan dua orang anak ditemukan tidak bernyawa pada Sabtu (9/3).

Fakta kasus bunuh diri diketahui adalah pria EA (50 tahun), perempuan berinisial AIL (52 tahun) dan dua anak remaja laki-laki berinisial JWA (13 tahun) dan remaja wanita berinisial JL (15 tahun).

Saat ditemukan, keempat korban mengalami luka berat di bagian kepala, tangan dan kaki. Polisi menemukan ikatan tali yang putus pada tangan keempat korban, diduga tali tersebut terikat pada tangan sebelum melakukan aksi bunuh diri.

Baca Juga: Kasat Narkoba Polres Metro Jaktim AKBP Buddy Alfrits Towoliu Tewas Tertabrak Kereta, Diduga Bunuh Diri

Seorang pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, tidak sepakat dengan kasus tewasnya empat orang anggota keluarga tersebut sebagai kasus bunuh diri. Kasus ini perlu dicatat sebagai tindak pidana.

“Dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana,” ujar Reza dikutip dari Antara.

Ia menjelaskan, maksud tindak pidana adalah terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa anak untuk melompat dari gedung tinggi.

Empat orang yang terjun dari atap apartemen itu, kata Reza, baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan demikian.

“Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak,” paparnya.

Dijelaskan, implikasi dalam kasus ini adalah jika kedua anak tersebut dianggap berkehendak dan bersepakat dalam peristiwa tersebut maka serta-merta gugur.

“Dalam situasi apapun anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuan bagi aksi bunuh diri,” jelasnya.

Aksi terjun bebas yang dilakukan tersebut, kata Reza, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual (kesepakatan).

Baca Juga: Kasus Pembunuhan di Mal Central Park, Pelaku Diduga Miliki Kelainan Jiwa

“Karena tidak konsensual, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut,” ujarnya.

Karena itu, kata Reza, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri. Karena, mereka dipaksa melompat, maka mereka justru jadi korban pembunuhan.

"Pelaku pembunuhnya adalah pihak yang -harus diasumsikan- telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa,"katanya.

Kasus ini kata Reza, berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri dan pembunuhan. Namun polisi tidak bisa memproses lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.

"Indonesia tidak mengenal proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati (posthumous trial),"jelas Reza.

Disclaimer: Berita atau artikel ini tidak bertujuan menginspirasi tindakan bunuh diri.

Informasi ini tidak untuk menginspirasi siapapun untuk bunuh diri. Jika Anda memiliki pikiran untuk bunuh diri, segera mencari bantuan dengan menghubungi psikolog atau psikiater terdekat.***

Editor: Tatang Adhiwidharta

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler